Oleh : Melati
Sukmaningtyas/16/IX A
Dua tahun lalu, saat aku duduk di kelas tujuh, aku
mengalami peristiwa yang membuatku trauma hingga sekarang. Peristiwa itu
terjadi pada waktu Hari Senin, aku masih mengingatnya karena hari itu adalah
hari pertama aku menjadi petugas upacara. Aku pulang sekolah sekitar pukul
15.20 WIB. Sesampai dirumah, aku meletakkan tasku dan duduk di ranjang depan
TV, kebetulan adikku sedang menonton TV. Aku pun duduk disampingnya dan ikut
menikmati menonton TV meskipun masih memakai seragam. Saat acara TV yang kami
tonton sedang iklan, adikku memindah channel
dan tak sengaja sekilas terlihat film horror. Lalu aku bilang pada adikku
untuk melihat film horror saja. Dan adikku pun mengiyakan. Sebenarnya adikku
tidak mau, karena ia sangat takut dengan hal-hal yang berkaitan dengan horror.
Walaupun aku juga sangat takut, tapi aku ingin mencobanya. Aku memaksa adikku
untuk memilih channel film horror tersebut. Akhirnya adikku menyetujuinya,
tetapi dengan catatan jika nantinya aku tidak boleh pergi.
“Eh dek, itu tadi film horror bukan e? Kok kayaknya iya?“
tanyaku kepada adikku.
“Yang mana? Ini po?(sambil memindah channel film horror
tersebut)” jawab adikku.
“Nah iya! Lihat itu aja!” seruku.
“Aaa gak mau! Aku takut!” jawab adikku dengan seru pula.
“Alah gapapa to! Coba aja. Aku pengen lihat.” kataku.
“Tapi nanti kamu nggak boleh pergi lho! Walaupun nanti
nakutin banget, kamu juga nggak boleh pergi. Awas kamu kalo nyampe pergi!”
ancam adikku.
“Okee.” Jawabku santai.
Kami melihatnya dengan penuh antusias sambil saling menggenggam
tangan dan gemeteran. Karena terus terang saja, itu adalah pertama kalinya aku
berani melihat film horor hanya berdua dengan adikku. Saat suasananya sangat
mencekam, tiba-tiba justru iklan. Itu membuatku sangat lega tetapi juga
jengkel.
Tak lama kemudian film horornya mulai. Aku mulai antusias
kembali. Dan, tiba-tiba hantunya bangun dan sangat mengerikan. Aku pun sangat panik
dan berusaha untuk lari. Namun, karena aku masih berseragam menggunakan rok
panjang, sehingga sangat sulit untuk bergerak. Saking terburu-burunya,
akibatnya aku terjatuh ke lantai dan apa yang terjadi? Klekk! Suara itu sampai
membuat ku kaget karena terdengar keras. Aku bangun dengan tertatih-tatih
karena kesakitan, saat itu tangan kiriku terasa sangat sakit dan sulit
digerakkan. Aku menduga jika tanganku patah. Hal itu membuat adikku spontan
memukul pipiku. Dia menyarankan padaku untuk berkata yang baik, karena
menurutnya ucapan adalah do’a.
“Aduh…aduh…sakit buk! Aduh..ah… tanganku patah buk.”
Cetusku.
“Heh! Kamu tu jangan ngomong gitu! Nanti beneran!” seru
adikku.
Rasanya makin nggak karuan. Ibuku yang melihat raut
wajahku kesakitan, menyuruhku untuk menggerakkan jari tanganku. Aku sempat
sedikit lega karena jari tanganku bisa bergerak.
“Coba digerakkin jarinya.” suruh ibuku.
“ehm..iya… Eh bisa!” seruku senang.
Tetapi tiba-tiba terasa ngilu. Ibuku melihat tanganku
yang sedikit aneh. Kemudian, Ibuku membuka lengan bajuku, dan saat aku melihat
tanganku rasa senangku hilang seketika. Aku sangat kaget dan tidak percaya,
tanganku patah sehingga terlihat bengkok seperti sabit. Ibuku pun juga
terkejut, wajahnya memerah.
“Ha??? Kok kayak gini tanganku? Ibu gimana ini?” tanyaku
ketakutan.
“Ibu juga nggak tahu, kenapa jadi kayak gini.” Jawab
ibuku cemas.
Kebetulan, budheku sedang berada di rumahku. Secepat
mungkin, ibuku melarikan aku ke rumah sakit terdekat, yaitu RS At-Taurots.
Sampai disana di rontgen, ternyata tanganku tak hanya patah, ada beberapa
tulang yang menjadi kepingan kecil. Dokter menyarankan untuk beroperasi. Ibuku
langsung menelfon ayahku memberitahu keadaanku. Dengan segera ayahku datang.
Ayahku tidak setuju jika aku dioperasi di RS At-Taurots. Ayahku langsung
memindahkanku ke RS Panti Rapih.
“Wah kalo operasi sekalian di Panti Rapih aja.” kata
ayahku.
Kami pun segera berangkat, tetapi sebelumnya aku ganti
celana dan berpamitan dengan kakek nenekku. Tiba disana, saat turun dari mobil,
sudah ada petugas yang mempersilahkanku untuk duduk di kursi roda yang telah
disediakan dan membawaku ke ruangan pemeriksaan. Karena dokternya sedang
menangani pasien, aku harus sabar untuk menunggu. Selang sebentar, Pak Dokter
memeriksa keadaanku. Beliau mengatakan jika Beliau akan mencoba menggunakan
cara di gip meskipun patah.
“Saya akan mencobanya untuk di gip, karena usianya masih
bisa dibilang usia anak-anak, maka cepat untuk pertumbuhannya, sehingga ada
kemungkinan tangan bisa pulih dengan cara ini. Tetapi, jika anak ini merasa
kesakitan saat digip, satu-satunya jalan adalah operasi. Karena rasa sakit itu
pertanda bahwa ada tulang yang menusuk daging.” Jelas Pak Dokter.
“Ya…tidak apa-apa, lakukan yang terbaik.” Jawab ayahku
dengan penuh harapan.
Sebelum digip, ayahku mengajakku jalan-jalan dan membeli
donat. Bahkan pada saat itu, ingin buang air kecil rasanya susah sekali.
Sekitar pukul 20.30 WIB, aku mulai digip. Alhasil, aku
tidak merasa kesakitan sehingga aku tidak perlu operasi, tetapi harus hati-hati
dalam melakukan pekerjaan. Aku pulang ke rumah sekitar pukul 22.00 WIB, di
rumah aku sudah disambut dengan banyak saudaraku. Karena sudah malam, aku pun
tidur. Tidurku sangat tidak nyenyak. Berulang kali aku terjaga. Paginya aku
tidak berangkat sekolah. Tak disangka, teman-temanku datang ke rumahku untuk
menjengukku. Aku sangat bahagia. Tiga hari kemudian, aku berangkat sekolah.
Bisa bertemu dengan teman-teman kembali, itu sudah lebih dari cukup. Mereka sangat setia dan baik hati, bahkan
mereka rela membawakan barang-barangku. Hatiku terenyuh melihat perlakuan mereka.
Teman memang sangat berarti.
Dua bulan sudah aku menjalani kehidupan sehari-hariku
dengan satu tangan digendong. Tak kukira, aku mampu melakukannya dengan hati
yang riang. Saat gipku ingin dilepas, aku justru tidak tega, karena di gip
tersebut tertera tanda tangan, tulisan., berbagai lukisan teman-temanku. Ingin
kujadikan gip itu sebagai kenang-kenangan, tetapi sudah lebih dulu dibuang oleh
susternya.
Dan hingga kini, aku masih trauma untuk menonton film
horor, aku tidak mau kejadian serupa akan terulang kembali. Efek sampingnya
masih terasa hingga sekarang, saat udara dingin, saat membawa barang yang cukup
berat dan saat kecapekan, tanganku akan terasa sangat ngilu, seakan-akan
seperti patah lagi.
Mengingat masa-masa itu membuatku terharu, begitu pentingnya
orang-orang disekitarku. Tak kukira, begitu sayangnya mereka kepadaku. Kejadian
itu memberiku banyak pelajaran seperti, sehabis pulang sekolah segeralah
berganti pakaian, jangan terburu-buru melakukan sesuatu, dan berpikir matang
tentang apa yang akan kita lakukan. Peristiwa ini tidak akan pernah kulupakan.